Model Pengembangan Standar Profesi Perbandingan
Antara Amerika dan Eropa
Sri Rahayu1,Intan Lestari2,Dimas Haryo
Adhiatama3
Jurnal Etika & Profesionalisme
Universitas Gunadarma
Jalan
Margonda Raya no. 100, Depok 16424 Gedung 4 Lantai 1 D419
Email
: infokom@gunadarma.ac.id
1ayuuuunya@gmail.com
2in.intanlestari@gmail.com
3dimryo@gmail.com
Abstrak
Meningkatnya implementasi TI mulai dari operasional bisnis biasa
sampai ke jaringan perusahaan yang lebih kompleks menyebabkan kebutuhan tenaga
TI tidak hanya dirasakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang TI, tetapi
juga non TI. Keterbatasan kurikulum, dan keinginan untuk independen terhadap
produk tertentu menjadi kendala menghadapi perubahan tersebut. Di sisi lain
kebutuhan tenaga kerja TI sering membutuhkan kompetensi yang lebih spesifik,
seperti pengalaman terhadap penggunaan software tertentu yang diimplementasikan
dalam perusahaan tersebut. Adanya standar kompetensi dibutuhkan untuk
memudahkan bagi perusahaan atau institusi untuk menilai kemampuan (skill) calon
pegawai atau pegawainya. Dengan memiliki sebuah sertifikat TI yang diakui
secara global, seorang profesional TI akan memiliki rasa kepercayaan diri yang
lebih tinggi terkait dengan keterampilan yang dimilikinya.
Abstract
Increased IT implementations ranging from ordinary business
operations to the corporate network more complex led to the need of IT
personnel are not only felt by companies engaged in IT, but also non-IT.
Limitations of the curriculum, and the desire to be independent of a particular
product constraints facing these changes. On the other hand IT workforce needs
often require more specific competencies, such as the experience of the use of
certain software which is implemented in the company. Their competency
standards required to make it easier for companies or institutions to assess
the ability (skill) prospective employees or employees. By having a certificate
recognized global IT, an IT professional will have a sense of higher self
confidence associated with the skill he has.
PENDAHULUAN
Meningkatnya
implementasi TI mulai dari operasional bisnis biasa sampai ke jaringan
perusahaan yang lebih kompleks menyebabkan kebutuhan tenaga TI tidak hanya
dirasakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang TI, tetapi juga nonTI.
Seiring dengan kebutuhan tenaga kerja TI yang diperkirakan akan terus
meningkat, berbagai posisi atau jabatan baru di bidang TI juga bermunculan.
Cepatnya
perkembangan TI serta semakin kompleksnya teknologi tidak memungkinkan bagi
lembaga pendidikan untuk mengadopsi perubahan secara cepat. Keterbatasan
kurikulum, dan keinginan untuk independen terhadap produk tertentu menjadi
kendala menghadapi perubahan tersebut. Di sisi lain kebutuhan tenaga kerja TI
sering membutuhkan kompetensi yang lebih spesifik, seperti pengalaman terhadap
penggunaan software tertentu yang diimplementasikan dalam perusahaan tersebut.
Hal ini mendorong turun tangannya para vendor untuk ikut terjun dalam program
pendidikan yang pada akhirnya melahirkan standar kompetensi atau sertifikasi.
Adanya standar
kompetensi dibutuhkan untuk memudahkan bagi perusahaan atau institusi untuk
menilai kemampuan (skill) calon pegawai atau pegawainya. Adanya inisiatif untuk
membuat standar dan sertifikasi sangat dibutuhkan. Namun masih terdapat
permasalahan seperti beragamnya standar dan sertifikasi.
LANDASAN TEORI
Pengertian Model
Model dapat diartikan sebagai acuan
yang menjadi dasar atau rujukan dari hal tertentu. Model adalah gambaran
sederhana yang dapat menjelaskan objek, sistem atau suat konsep. Berikut ini
merupakan pengertian dari beberapa para ahli, sebagai berikut :
1. Simamarta
Model
adalah gambaran inti yang sederhana serta dapat mewakili sebuah hal yang ingin
ditunjukkan. Jadi, model ini merupakan abstraksi dari sistem tersebut.
2. Departemen P dan K
Model merupakan pola atau
contoh dari sebuah hal yang akan dihasilkan.
3. Gordon
Model adalah sebuah
kerangka informasi tentang sesuatu hal yang disusun untuk mempelajari dan
membahas hal tersebut.
4. Marx
Model merupakan sebuah
keterangan secara terkonsep yang dipakai sebagai saran atau referensi untuk
melanjutkan penelitian empiris yang membahas suatu masalah.
5. Murty
Model merupakan sebuah
pemaparan tentang sistem tertentu yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
peneliti.
Pengertian
Pengembangan
Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan
teknis, teoritis, konseptual, dan moral sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau
jabatan melalui pendidikan atau latihan.
Menurut Andrew F. Sikula mendefinisikan pengembangan adalah
pengembangan mengacu pada masalah personel suatu proses pendidikan jangka
panjang yang menggunakan suatu prosedur sistematis dan terorganisir.
Pengertian
Profesi
Beberapa pengertian Profesi menurut para ahli :
1. Winsley (1964)
Profesi adalah suatu pekerjaan
yang membutuhkan badan ilmu sebagai dasar untuk pengembangan teori yang
sistematis guna menghadapi banyka tantangan baru, memerlukan pendidikan dan
pelatihan yang cukup lama, serta memiliki kode etik dengan focus utama pada
pelayan
2. Schein E. H (1962)
Profesi merupajan suatu keahlian atau set pekerjaan yang membangun
suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di
masyarakat.
3. Hughes E.C (1963)
Profesi merupakan seuatu keahlian dalam mengetahui segala sesuatu
dengan lebih baik dibandingkan orang lain.
PEMBAHASAN
Standar
Profesi di Amerika & Eropa
·
Pustakawan
dan Konsep Negara Modern
Satu hal
penting mengapa profesi pustakawan dihargai di Amerika adalah bahwa dari
sejarahnya, perkembangan profesi pustakawan di Amerika Serikat sejalan dengan
sejarah pembentukan Amerika Serikat sebagai negara modern dan juga perkembangan
dunia akademik. Pada masa kolonial, tradisi kepustakawanan di dunia akademik
merupakan bagian dari konsep negara modern, utamanya berkaitan dengan fungsi
negara untuk menyediakan dan menyimpan informasi. Oleh karena itu, profesi
purstakawan (bibliographist) dan ahli pengarsipan (archieving specialist) mulai
berkembang pada masa itu.
Sejalan dengan itu, posisi pustakawan
mengakar kuat di universitas-universitas dan tuntutan profesionalitas
pustakawan pun meningkat. Untuk menjadi seorang pustakawan, Seseorang harus
mendapatkan gelar pada jenjang S1 pada area tertentu terlebih dahulu untuk bisa
melanjutkan ke jenjang S2 di bidang perpustakaan. Khusus untuk pustakawan
hukum, beberapa sekolah perpustakaan memiliki jurusan khusus pustakawan hukum.
Umumnya gelarnya berupa MLS atau MLIS (Master of Library and Information
Science). Pendidikan jenjang S2 ini ditempuh selama dua tahun. Sistem
pendidikan yang seperti ini sangat kondusif untuk menciptakan spesialisasi
dalam profesi pustakawan itu sendiri, yang tidak hanya mampu membuat dan
menyusun katalog namun juga memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu,
misalnya pustakawan yang juga memiliki pengetahuan di bidang hukum.
Untuk memastikan hal ini, dibentuklah
panduan profesi pustakawan yang memastikan seorang pustakawan harus memiliki
gelar profesional pustakawan. Selain harus memiliki sertifikat, para pustakawan
profesional ini pun juga terus mengembangkan pendidikan profesinya dengan
mengikuti pelatihan-pelatihan di area tertentu yang berkaitan dengan pengolahan
dokumen. Hal ini penting untuk menghadapi perkembangan dunia elektronik yang
juga berpengaruh terhadap kebutuhan pengguna dan proses pengolahan.
·
Relasi
Pustakawan dengan Staf Teknis dan Profesi yang Didukungnya
Sementara itu,
pekerjaan-pekerjaan teknis yang berkaitan dengan manajemen dan pengelolaan
perpustakaan seperti scanning dokumen, jaringan internet, memasang sistem
katalog dalam jaringan komputer, dikerjakan ahli-ahli yang berfungsi sebagai
staf teknis perpustakaan. Umumnyam mereka memiliki latar belakang pendidikan di
bidang Teknologi Informasi.Mereka staf teknis dan bukan pustakawan.
Hal ini tentu
berbeda dengan kondisi di Indonesia. Profesi pustakawan seringkali ditempatkan
hanya sebagai pekerjaan teknis, tukang mengolah katalog, mencari dan
mengembalikan buku perpustakaan ditempatnya, serta memfotokopi dokumen yang
dibutukan pengguna. Tidak ada pembagian fungsi dan tugas yang tegas antara
pustakawan dan staf teknis.
Perbedaan
lainnya juga terletak pada relasi antara pustakawan dengan profesi yang
didukungnya. Sebagai contoh, pustakawan yang bekerja di universitas memiliki
kontribusi bagi dunia akademik dengan melakukan riset-riset. Misalnya, riset
mengenai efektivitas perkuliahan. Selain itu, mereka juga mengenalkan ilmu
keperpustakaan kepada mahasiswa melalui kurikulum dengan menyediakan satu sesi
di setiap mata kuliah untuk berdiskusi megnenai akses informasi. Pustakawan
mempresentasikan dan berdiskusi megnenai bagaimana menggunakan layanan
perpustakaan dan menggunakan alat-alat yang disediakan untuk mencari informasi
yang dibutuhkan serta etika akademis dalam mengutip tulisan orang lain. Selain
itu, juga disediakan panduan online yang diintegrasikan dengan situs mata
kuliah tersebut.
Contoh lainnya
adalah hubungan profesi pustakawan dengan profesi ahli bahasa. Pustakawan di
Amerika Serikat bekerjasama dengan The Modern Language Association menyusun panduan
yang berkaitan dengan informasi linguistik yang berisi materi-materi,
metode-metode dan bahkan hal-hal mengenai etika yang berkaitan dengan
linguistik.
Profesi pustakawan hukum pun
seyogyanya dapat melakukan riset yang dapat berkontribusi bagi profesi hukum.
Banyak pustakawan hukum di Amerika Serikat yang juga memiliki gelar hukum dan
aktif melakukan penelitian dan kontribusi lainnya terhadap profesi hukum.
Sehingga, pustakawan tidak berfungsi sekedar sebagai supervisi dan kolektor
dokumen saja. Selain itu, hubungan antar pustakawan dengan profesi yang
didukungnya, misalnya dalam dunia akademik, menjadi setara.
·
Komunitas
Pustakawan yang Kritis
Hal yang
menarik lainnya adalah komunitas pustakawan di Amerika Serikat yang sangat
kritis terhadap perkembangan yang bisa berdampak pada perpustakaan dan
profesinya. Komunitas pustakawan di Amerika Serikat terlibat aktif dalam
gerakan akses terbuka terhadap informasi. Perpustakaan berfungsi sebagai
penghubung dan penyedia informasi yang lebih murah bagi publik.
Mereka bekerja
dengan para akademisi dan organisasi-organisasi penting. Salah satunya, adalah
advokasi kepada para akademisi untuk tidak mempublikasikan tulisannya melalui
penerbit-penerbit yang mahal. Sebaliknya, mereka mendorong pendirian penerbit-penerbit
di universitas-universitas dan menerbitkan tulisan-tulisan para dosennya
sendiri. Hal ini merupakan upaya untuk menyediakan tulisan akademik dengan
harga yang lebih murah.
Selain itu,
komunitas pustakawan juga terlibat dalam advokasi hak cipta. Misalnya,
menyebarluaskan informasi mengenai hak-hak penulis terutama dalam penandatangan
kontrak dengan penerbit. Di Amerika Serikat, penerbit umumnya memasukkan pasal
yang mengharuskan penulis untuk membayar mereka untuk melakukan distribusi
karyanya di lingkungan pengajarannya. Komunitas pustakawan melakukan advokasi
kepada penulis untuk meminta pasal ini dihapus sehingga distribusi karya yang
diterbitkan kepada lingkungan ajarannya tidak dikenakan biaya.
Komunitas
pustakawan juga mengadvokasikan posisi dan pandangan mereka terhadap UU Hak
Cipta. Misalnya, hak untuk membuat duplikat tambahan untuk perpustakaan dari
bahan-bahan yang diperuntukan untuk kepentingan penyimpanan. UU Hak Cipta
Amerika Serikat membolehkan untuk membuat micro film dari koran-koran lokal
atau bahan-bahan yang sudah jarang ditemukan dibolehkan untuk kepentingan
penyimpanan. Namun demikian, komunitas pustakawan di Amerika Serikat
berpandangan, perpustakaan memiliki hak untuk membuat duplikasi tambahan dari
micro film yang sudah dibuat untuk kepentingan penyimpanan itu. Komunitas
pustakawan di Amerika Serikat juga menentang privatisasi informasi yang diatur
dalam WTO.
Komunitas
pustakawan ini memiliki organisasi yang efisien. Biaya keanggotaan digunakan
untuk membiayai staff dalam skala kecil di Washington DC. Visinya adalah untuk
melindungi kepentingan perpustakawan. Fokus pekerjaan mereka adalah isu-isu
yang berdampak pada perpustakaan, hak cipta. Selain melakukan kegiatan di atas,
mereka juga seringkali melakukan presentasi di hadapan kongres agar mengetahui
isu-isu yang dihadapi oleh para pustakawan. Mereka juga aktif bila ada
kebijakan nasional yang melanggar hak untuk memperoleh informasi demi alasan
keamanan nasional. Sebuah kisah yang seharusnya menginspirasi profesi pustakawan
di Indonesia.
KESIMPULAN
Adanya standar kompetensi dibutuhkan untuk memudahkan bagi
perusahaan atau institusi untuk menilai kemampuan (skill) calon pegawai atau
pegawainya. Dengan memiliki sebuah sertifikat TI yang diakui secara global,
seorang profesional TI akan memiliki rasa kepercayaan diri yang lebih tinggi
terkait dengan keterampilan yang dimilikinya.
Selain itu pengalaman mengikuti
sertifikasi akan memberikan wawasan-wawasan baru yang mungkin tidak pernah
ditemui pada saat mengikuti pendidikan formal atau dalam pekerjaan sehari-hari.
Selain mampu memberikan jalan yang lebih mudah untuk menemukan pekerjaan di
bidang TI, sertifikasi juga sapat membantu Anda meningkatkan posisi dan
reputasi bagi yang sudah bekerja. Bahkan sertifikasi yang sudah diakui secara
global ini mampu meningkatkan kompetensi dengan tenaga-tenaga TI dari manca
negara. Karena itu jangan heran jika sertifikasi yang telah di kantongi bisa
lebih dihargai dibandingkan ijazah formal.
Referensi :
http://juniorhendy.blogspot.com/2010/03/model-pengembangan-standar-profesi.html
dilihatya.com/3284/pengertian-model-menurut-para-ahli-adalah
https://aditiodoank.wordpress.com/2014/06/16/model-pengembangan-standar-profesi-it/